Syahwat Kekuasaan Dalam Perspektif Islam  oleh Ustadz Herdiyanto Kasim SHI 

Seorang penulis Aunur Rofiq dalam tulisannya menyebut “Jangan memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya.”

 

Fenomena ini apakah gejala demikian menandai kebangkrutan gerakan keagamaan dan kesalehan di negeri sejuta masjid ini? Jawabannya bisa negatif atau positif, namun keduanya berkait dengan apa yang disebut syahwat politik kekuasaan dan syahwat kekayaan duniawi.

Karakteristik manusia yang mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin tampak dalam tingkah laku yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Pemimpin merupakan suatu panggilan yang sangat mulia dan perintah dari Allah yang menempatkan dirinya sebagai makhluk pilihan sehingga tumbuh dalam dirinya kehati-hatian, menghargai waktu, hemat, produktif, dan memperlebar sifat kasih sayang sesama manusia.

Solidaritas kelompok sebagai dasar kehidupan yang dilandasi oleh iman dan akhlak mulia seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw, dapat memberikan implikasi terhadap tatanan kerja sama kemanusiaan (ta’awun al-ihsan). Apabila teori tersebut dihubungkan dengan kegiatan kepemimpinan, maka akan dapat mendorong masyarakat untuk bersatu dan aktif partisipatif dalam proses pembangunan di semua sektor kehidupan.

Motivasi seseorang untuk ambil bagian dalam suatu proses kepemipinan sangat beragam sebagaimana halnya motivasi seseorang untuk melaksanakan ibadah, seperti salat, puasa, dan sebagainya. Keragaman motivasi atau latar belakang niat seseorang dalam bertindak adalah suatu hal yang tidak terelakan dan secara hukum tidak dipersalahkan. Sejarah menjelaskan kepada kita, ketika Nabi Muhammad saw berhijrah bersama para pengikutnya, beliau mengatakan bahwa motivasi dan keikutsertaan para pengikutnya itu beragam, ada yang bermotivkan kekayaan, dan ada juga karena dorongan wanita yang ingin dinikahinya. Semuanya itu dibenarkan, hanya saja kualitas partisipasi yang terbaik dan tertinggi dalam pandangan agama Islam adalah karena Allah swt.

Hadis yang berbunyi: “innamal a’amal bin niyyah” dan seterusnya, membenarkan keragamaan motivasi tindakan. Oleh karena itu, masalah partisipasi tokoh masyarakat dalam perhelatan pemilihan kepala daerah baik presiden, gubernur, bupati maupun wali kota pun demikian. Motivasi partisipasi itu harus diciptakan. Menurut Abdurrahman bin Abd al Salam al Syafi’i dalam kitab Nuzhat al Majalis wa Muntakhab al Nafais bahwa motivasi seseorang untuk melaksanakan kepemimpinan sebagaimana juga melaksanakan ibadah selalu beragam. Minimal ada tiga motivasi utama:

Baca Juga:  Danrem 044/Gapo Ikuti Apel Pengerahan Pasukan  Tambahan  Penanganan Karhutla Tahun 2023

1. Motivasi ekonomi,

yakni ingin mendapat

imbalan material

yang bernilai

2. Motivasi “takut” mendapat ancaman “akhirat” dan ingin “surga”

3. motivasi ikhlas atas landasan iman tauhid yang amat murni *lillahi ta’alaa*

KARAKTER YANG HARUS DIMILIKI DALAM KEPEMIMPINAN

Pertama

Shidiq (jujur). Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, jika biasa dilakukan, juga akan mewarnai dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pemimpin itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

Dalam Alquran, keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut. Di beberapa ayat, dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana Firman Allah swt: Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (QS Al An’aam: 152).

Dengan hanya menyimak ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah swt telah menganjurkan kepada seluruh umat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lebih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal bakal dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar.
Sehingga para pemimpin yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan.

Baca Juga:  Polsek BLH Resort Muba Konsisten Adakan Program Jumat Berkah

Firman Allah swt dalam Alquran: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (QS Al Muthaffifiin: 1-6)

Firman Allah swt Ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kebahagiaan bagi para pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah.

Kedua
Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan  yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya. Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin merupakan suatu tugas mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.

Ketiga
Tidak menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya. Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal. Oleh sehab itu, Rasulululah saw selalu memperingatkan kepada para pemimpin untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar terpilih, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Kaburomaqtan ‘indallahi antaqulu ma la taf’alaun (QS Ash Shaf : 3) “Sangat besar kemurkaan disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”

Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, proses demokrasi untuk mengahasilkan pemimpin dinodai dengan pelanggaran etika, bahkan nyaris, setiap orang calon pemimpin maupun pemilih tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, di mana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah saw, sebagaimana dinyatakan dalam hadisnya. Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR Bukhari)

Baca Juga:  Edi Yansyah : Kepolisian Harus Bertindak Profesional Dalam Jalankan Tugas Dan Hormati Hak-Hak Mahasiswa

Keempat
Menepati janji. Seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada rakyat harus dapat menepati janjinya juga kepada Allah swt. Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (QS Al Jumu’ah)

Kelima
Murah hati. Dalam suatu hadist, Rasulullah saw menganjurkan agar para pemimpin selalu bermurah hati dalam melaksanakan pemerintahan. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab. Sabda Rasulullah SAW: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR Bukhari)

Keenam
Tidak melupakan akhirat. Kepemimpinan adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pemimpin muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu salat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama bawahan melaksanakan salat berjamaah, ketika azan telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pemimpin muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan pemerintahan.

Penutup

Sebagai pemimpin hendaknya kita selalu berupaya menyempurnakan keilmuan, berani mengambil risiko dan mampu mengambil ibrah dari keberhasilan serta kegagalan para pemimpin terdahulu. Jadilah pemimpin yang berangkat atas dasar keilmuan dan ketakwaan bukan atas dasar nafsu dan keserakahan.

Mari bersama sama kita menolong agama Allah dengan aktivitas dan profesi masing masing pasti Allah menolong kita

Yaa ayyuhalladziina amanuu in tan shurullaha yanshurkum… (QS Muhammad : 7) ” Hai orang orang yang mukmin jika kamu menolong agama Allah, Allah pasti menolong kamu”

“Wallahu a’lamu bish showab”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *