Beritapali.com |Lahat, Sumsel _ Persoalan pencemaran Sungai Kili di Desa Gunung Kembang, Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat, terus menjadi perhatian serius.
Sejak tahun 2022 hingga 2023, masyarakat yang memiliki lahan pertanian di sepanjang aliran sungai tersebut mengalami kerugian besar akibat menurunnya hasil panen.
Tak hanya itu, sejumlah warga juga mengeluhkan gangguan kesehatan seperti gatal-gatal dan mual saat menggunakan air dari sungai.
Keluhan telah disampaikan masyarakat kepada dua perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Hulu Sungai Kili, yaitu PT Bukit Telunjuk dan PT Mustika Indah Permai (MIP).
Namun, bukannya mendapat solusi, masyarakat justru merasa mendapat respons yang mengarah pada intimidasi. Karena tak kunjung mendapat kejelasan, perwakilan warga kemudian mendatangi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lahat, membawa dua botol sampel air Sungai Kili yang diduga telah tercemar sebagai bukti.
Sayangnya, hingga memasuki tahun 2025, penantian warga bagaikan “Pungguk Merindukan Bulan”.
Pada Rabu, 20 Mei 2025, warga Desa Gunung Kembang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Gunung Kembang Menggugat (FMGKM) menggelar aksi damai di depan Kantor Bupati Lahat.
Aksi ini didampingi oleh aktivis muda, Din Kurnia dan Anugrah, yang dikenal sebagai pemuda peduli lingkungan. Mereka menuntut pemerintah untuk segera menghentikan pencemaran dan memulihkan kondisi air Sungai Kili.
Wakil Bupati Lahat, yang turut menemui massa aksi, berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut. Beliau menegaskan komitmennya karena Desa Gunung Kembang merupakan kampung halamannya sendiri.
Sebagai tindak lanjut, pada Kamis, 12 Juni 2025, Wakil Bupati Lahat bersama Plh Sekda, Plh Kepala DLH, serta perwakilan masyarakat dan FMGKM melakukan verifikasi lapangan kedua perusahaan tambang tersebut.
Verifikasi dimulai dari wilayah operasi PT Mustika Indah Permai, tepatnya di titik KPL 2 dan KPL 3. Di sana, Wakil Bupati menyoroti aliran sungai yang kecil karena musim kemarau.
Namun, beliau juga menegaskan bahwa saat musim hujan, lumpur dari kiri-kanan aliran dapat terbawa ke sungai dan menyebabkan kekeruhan yang bisa dianggap sebagai bentuk pencemaran.
Selanjutnya, di lokasi PT Bukit Telunjuk, ditemukan fakta bahwa aliran Sungai Kili telah mengalami dua kali perpindahan jalur. Menurut keterangan DLH, perpindahan sungai tersebut sangat berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan.
Benar saja, pada Selasa pagi, 24 Juni 2025, atau hanya 12 hari setelah sidak dilakukan, Sungai Kili kembali tercemar setelah hujan deras mengguyur kawasan tersebut. Masyarakat segera melaporkan kejadian itu ke DLH.
Tepat pukul 14.08 WIB, DLH tiba di lokasi bersama warga dan langsung mengambil sampel air. Hasil uji menunjukkan kadar pH air sebesar 3,85, yang masuk dalam kategori asam berat dan sangat berbahaya untuk dikonsumsi.
Matsir, salah seorang warga mengungkapkan bahwa, warga sangat bergantung pada air Sungai Kili untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci, memasak, dan berkebun. Ia berharap pemerintah bertindak cepat menyelesaikan persoalan tersebut. Hal senada disampaikan oleh Din Kurnia, yang menegaskan bahwa air bersih adalah kebutuhan dasar masyarakat, dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya.
“Jangan hanya memberikan janji. Kami sudah terlalu lama menderita,” tegas Din. Jumat (27/06/2025).
Sementara itu, Patih Yansi Al-Ahmad, aktivis muda pemerhati lingkungan dari wilayah Merapi, menambahkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran harus dilakukan secara tegas, bijak, dan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, bukan berdasarkan relasi personal antara perusahaan dan oknum pemerintah.
(Cha/Rilis)